Social Icons

Pages

Featured Posts

Jumat, 15 Maret 2013

Sejarah Berdirinya Kerajaan Majapahit

  1. A.  Sejarah Berdirinya Kerajaan Majapahit
Sesudah Singasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290 Singasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara penguasa kerajaan Singasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajah dan memotong telinganya. Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293. Ketika itu Jayakatwang adipati Kediri sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya menantu Kertanegara yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit nama tersebut diambil dari buah maja yang rasanya “pahit” dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongolia untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongol sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukan secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja yaitu tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa termasuk Ranggalawe Sora dan Nambi memberontak melawan meskipun pemberontakan tersebut tak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang terpercaya raja agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti) Halayudha ditangkap dan dipenjara lalu dihukum mati. Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Anak dan penerus Wijaya Jayanegara adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet yg berarti “penjahat lemah”. Pada tahun 1328 Jayanegara dibunuh oleh tabib Tanca. Ibu tiri yaitu Gayatri Rajapatni seharus menggantikan akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuan Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Selama kekuasaan Tribhuwana kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibu pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putra Hayam Wuruk.

  1. B.  Kejayaan Kerajaan Majapahit
Hayam Wuruk juga disebut Rajasanagara memerintah Majapahit tahun 1350-1389. Majapahit mencapai puncak kejayaan dengan bantuan mahapatih Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364) Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377 beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang menyebabkan runtuh sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit lain adalah Adityawarman yang terkenal karena penaklukan di Minangkabau.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampak tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan dan Vietnam bahkan mengirim duta-duta ke Tiongkok.

  1. 1.    Wilayah Kekuasaan dan Sistem Pemerintahan Majapahit (Bidang Politik)
Di bawah pimpinan Hayam Wuruk serta didampingi Gajah Mada, Majapahit berusaha melebarkan sayap, melakukan ekspansi ke luar Jawa. Sedikit demi sedikit, Majapahit mengusai seluruh wilayah nusantara. Seperti dipaparkan dalam kitab Negarakertagama, daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian. Bahkan beberapa daerah di Asia Tenggara, seperti Semenanjung Melayu dan Filipina bagian Selatan.
Sebagai kerajaan yang besar, Majapahit memiliki sistem ketatanegaraan yang teratur. Raja Majapahit dan keraton dianggap sebagai pusat dunia yang memiliki kekuasaan tertinggi. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
v  Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
v  Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
v  Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
v  Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu Daha, Jagaraga, Kabalan, Kahuripan, Keling, Kelinggapura, Kembang Jenar, Matahun, Pajang, Singhapura, Tanjungpura, Tumapel, Wengker dan Wirabumi.

  1. 2.    Kehidupan Sosial Masyarakat Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu Jawa, tata masyarakatnya berdasarkan Hinduisme, ciri khusus penatapan konsep Hinduisme ialah adanya pembagian anggota masyarakat ke dalam empat golongan yang disebut warna (kasta Bali), yaitu brahmana, ksatriya, waisya dan sudra. Pola kehidupan masyarakat Majapahit ini disebutkan dalam Negarakretagama (sumber sejarah Majapahit yang sahih) pupuh LXXXI yang petikannya adalah sebagai berikut: “Itulah sebabnya sang caturdwija memperhatikan laku utama, (caturdwija adalah empat golongan pendeta). Para pendeta dari empat aliran agama mengindahkan tutur. Para anggota caturasrama, terutama caturbasma, melakukan tapa dan mematuhi tata-tertib, taat menjalankan upacara. Semua anggota empat teguh memenuhi kewajibannya masing-masing. Para menteri dan para arya menjalankan tugas pemerintahan dengan baik; golongan ksatriya, baik pria maupun wanita, semuanya berhati teguh,bertindak sopan. Golongan waisya dan sudra melakukan kewajibannya masing-masing. Demikian pula tiga golongan yang terbawah yakni Candala, Mleccha dan Tuccha.”
Konsep tata-masyarakat di atas sesuai dengan ajaran kitab undang-undangnya (Kutaramanawa) yang berbunyi “Demi kebaikan dunia, Brahman melahirkan golongan brahmana dari mulutnya, golongan ksatriya dari lengannya, golongan waisya dari pahanya dan golongan sudra dari kakinya”. Untuk melindungi dunia ini Brahman yang cemerlang menetapkan bidang-bidang kerja mereka itu masing-masing. Segenap bangsa di dunia ini, yang tidak termasuk golongan brahmana, ksatriya, waisya dan sudra disebut Dasyu, tidak pandang bahasa yang mereka ucapkan, apakah bahasa golongan mleccha ataukah golongan arya.
Para pembesar agama pada jaman Majapahit disebut dengan Dharmadhyaksa yang bergelar Dang Acarya, dalam hal ini ada dua pembesar agama, yaitu Dharmadhyaksa Kasaiwan (pembesar agama Hindu-Siwa) serta Dharmadhyaksa Kasogatan (pembesar agama Budha). Mereka masing-masing dibantu oleh para pembantunya yang disebut Uppapati dengan gelar yang sama yaitu Dang Acarya.
Selanjutnya Negarakretagama pada pupuh ke LXXXI menguraikan bahwa Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara  berusaha keras untuk menyatukan dan mewawuhkan tiga aliran agama di wilayah Majapahit yang disebut dengan Tripaksa (tiga sayap) yaitu agama Siwa, Budha dan Brahma, pupuh ini juga menyebutkan bahwa para pendetanya yang disebut caturdwija tunduk rungkup kepada ajaran tutur.
Istilah dwija dalam Hinduisme berarti lahir dua kali, kelahiran yang pertama ialah kelahiran sebagai manusia, kelahiran yang kedua berupa upacara pengalungan benang suci sebagai tanda bahwa seseorang telah diterima sebagai anggota masyarakat Arya. Upacara inisiasi ini dilakukan bagi golongan brahmana pada usia delapan tahun, bagi golongan ksatriya pada usia sebelas tahun dan bagi golongan waisya pada usia dua belas tahun. Hanya ketiga golongan inilah yang dikatakan lahir dua kali. Golongan sudra hanya lahir satu kali.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, pembawa agama Islam ke Majapahit adalah Raden Rahmat alias Sunan Ngampel, pendatang dari Campa pada pertengahan abad empat belas untuk mengunjungi bibinya puteri Campa yang kawin dengan raja Brawijaya (Bhre Kertabhumi). Tarikh mangkat puteri Campa yang tercatat pada batu nisannya di Trawulan ialah 1370 Saka (1448 M), demikianlah kedatangan Islam di Majapahit bertarikh pertengahan abad empat belas.

  1. 3.    Kehidupan Ekonomi Masyarakat Majapahit

Majapahit merupakan negara agraris dan juga sebagai negara maritim. Kedudukan sebagai negara agraris tampak dari letaknya di pedalaman dan dekat aliran sungai. Kedudukan sebagai negara maritim tampak dari kesanggupan angkatan laut kerajaan itu untuk menanamkan pengaruh Majapahit di seluruh nusantara. Dengan demikian, kehidupan ekonomi Kerajaan Majapahit menitikberatkan pada bidang pertanian dan pelayaran perdagangan.
Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen padi terjadi dua kali dalam setahun, butir berasnya amat halus. Terdapat pula wijen putih, kacang hijau, rempah-rempah dan lain-lain, kecualai gandum. Buah-buahan banyak jenisnya, antara lain pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, manggis, langsat dan semangka. Sayur mayur berlimpah macamnya. Jenis binatang juga banyak, antara lain burung beo, ayam mutiara (kalkun), burung nilam, merak, pipit, kelelawar dan hewan ternak seperti sapi, kambing, kuda, babi, ayam dan bebek, serta hewan langka monyet putih dan rusa putih.
Untuk membantu pengairan pertanian yang teratur, pemerintah Majapahit membangun dua buah bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk persawahan daerah Kalamasa dan Bendungan Trailokyapuri untuk mengairi daerah hilir.
Majapahit memiliki mata uang tersendiri yang bernama gobog, uang logam yang terbuat dari campuran perak, timah hitam, timah putih, dan tembaga. Bentuknya koin dengan lubang di tengahnya. Dalam transaksi perdagangan, selain menggunakan mata uang gobog, penduduk Majapahit juga menggunakan uang kepeng dari berbagai dinasti. Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Ukuran timbangan disebut sekati, sama dengan 20 tahil; setahil sama dengan 16 qian; 1 qian sama dengan 4 kubana.
Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang pernah mengunjungi Jawa, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.

  1. 4.    Kehidupan Beragama Masyarakat Majapahit
Masyarakat Majapahit pada umumnya menganut agama Hindu dan Budha. Dalam agama Hindu yang dianut oleh masyarakat Majapahit, masih terdapat aliran-aliran kepercayaan, seperti aliran Siwa.
Untuk melakukan upacara keagamaan, dibangunlah bangunan-bangunan suci. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirthan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan dan Jabung.
Disamping perbedaan latar belakang keagamaan, terdapat pula perbedaan status dan fungsi bangunan suci. Berdasarkan statusnya, bangunan-bangunan suci tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan yang berada di luar kekuasaan pemerintah pusat.
Bangunan suci yang dikelola pemerintah pusat ada dua macam, yaitu:
1)        Dharma-Dalm disebut pula Dharma-Haji yaitu bangunan suci yang diperuntukkan bagi raja beserta keluarganya. Jumlah Dharma-Haji ada 27 buah, diantaranya Kegenengan, Kidal, Jajaghu, Pikatan, Waleri, Sukalila, dan Kumitir.
2)        Dharma-Lpas adalah bangunan suci yang dibangun di atas tanah wakaf (bhudana) pemberian raja untuk para rsi-saiwa-sogata, untuk memuja dewa-dewa dan untuk mata pencaharian mereka.
Sedangkan bangunan suci yang berada di luar pengelolaan pemerintah pusat kebanyakan adalah milik prasasti rsi, antara lain mandala, katyagan, janggan. Secara umum disebut patapan atau wanasrama karena letaknya terpencil. Mandala yang dikenal sebagai kadewaguruan adalah tempat pendidikan agama yang dipimpin oleh seorang siddharsi yang disebut pula dewaguru.
Berdasarkan fungsinya, candi-candi masa Majapahit dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:
  • Candi-candi yang mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai pendharmaan raja dan keluarganya, juga sebagai kuil pemujaan dewa dengan ciri adanya tubuh candi dan ruang utama (garbhagrha) untuk menempatkan sebuah arca pendharmaan (dewawimbha), misalnya candi Jago, Pari, Rimbi, Simping (sumberjati).
  • Candi-candi yang hanya berfungsi sebagai kuil pemujaan, dengan ciri tidak mempunyai garbhagrha dan arca pendharmaan/perwujudan, tubuh candi diganti dengan altar atau miniatur candi. Candi-candi kuil ini kebanyakan dipakai oleh para rsi dan terletak dilereng-lereng gunung, misalnya di lereng gunung Penanggungan, Lawu, Wilis, dsb.
Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walaupun begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya (Kertarajasa) ada 2 pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian 5 pejabat Siwa dibawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.
Selain itu terdapat pula para agamawan yang mempunyai peranan penting dilingkungan istana yang disebut tripaksa yaitu rsi-saiwa-sagata (berkelompok 3); dan berkelompok 4 disebut catur dwija yaitu mahabrahmana (wipra)-saiwa-sogata-rsi.
Pembaharuan/pertemuan agama Siwa dan agama Buddha pertama kali terjadi pada masa pemerintahan raja Krtanagara, raja Singasari terakhir. Apa maksudnya belum jelas, mungkin disamping sifat toleransinya yang sangat besar, juga terdapat alasan lain yang lebih bersifat politik, yaitu untuk memperkuat diri dalam menghadapi musuh dari Cina, Kubilai Khan. Untuk mempertemukan kedua agama itu, Krtanagara membuat candi Siwa-Buddha yaitu Candi Jawi di Prigen dan Candi Singasari di dekat kota Malang.
Pembaruan agama Siwa-Buddha pada jaman Majapahit antara lain terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada 2 candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayanegara yang didharmakan di Shila Ptak sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan dimana ‘Kenyataan Tertinggi’ dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.
Agama Siwa yang berkembang dan dipeluk oleh raja-raja Majapahit adalah Siwasiddhanta (Siddantatapaksa) yang mulai berkembang di Jawa Timur pada masa Raja Sindok (abad X). Sumber ajarannya adalah Kitab Tutur (Smrti), dan yang tertua adalah Tutur Bhwanakosa yang disusun pada jaman Mpu Sindok, sedang yang termuda dan terpanjang adalah Tutur Jnanasiddhanta yang disusun pada jaman Majapahit. Ajaran agama ini sangat dipegaruhi oleh Saiwa Upanisad, Vedanta dan Samkhya. ‘Kenyataan Tertinggi’ agama ini disebut Paramasiwa yang disamakan dengan suku Kata suci OM. Sebagai dewa tertinggi Siwa mempunyai 3 hakekat (tattwa) yaitu:
v  Paramasiwa-tattwa yang bersifat tak terwujud (niskala)
v  Sadasiwa-taattwa yang bersifat berwujud-tak berwujud (sanakala-niskala)
v  Siwa-tattwa bersifat berwujud (sakala)
Selain agama Siwasiddhanta dikenal pula aliran Siwa Bhairawa yang muncul sejak pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kediri. Beberapa pejabat pemerintahan Majapahit memeluk agama ini. Agama ini adalah aliran yang memuja Siwa sebagai Bhairawa. Di India Selatan mungkin dikenal sebagai aliran Kapalika. Pemujanya melakukan tapa yang sangat keras, seperti tinggal di kuburan dan memakan daging dan darah manusia (mahavrata). Disamping agama Siwa, terdapat pula agama Waisnawa yang memuja dewa Wisnu, yang dalam agama Siwa, Wisnu hanya dipuja sebagai dewa pelindung (istadewata).
Selain agama Hindu dan Budha, menurut catatan yang ditulis oleh Ma Huan dari Cina, juga terdapat masyarakat yang menganut agama Islam, utamanya para pedagang di pelabuhan. Hal ini menunjukkan kompleksnya penduduk Majapahit pada masa itu.
Walaupun terdapat banyak aliran kepercayaan dalam masyarakat Majapahit, nyatanya hal tersebut tidak menimbulkan perselisihan di antara mereka. Bahkan Hayam Wuruk yang beragama Hindu dan Gajah Mada yang beragama Budha mampu membangun Majapahit yang besar dan kuat.

  1. 5.    Kebudayaan Majapahit
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha Siwa dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha Siwa maupun Wisnu.
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelum arsitek Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Candi Bajangratu di Trowulan Mojokerto.

  1. C.  Keruntuhan Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta. Perang saudara yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja Majapahit.
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.

Sumber : http://hayunthreedotwordpressdotcom.wordpress.com/2011/12/22/sejarah-berdirinya-kerajaan-majapahit/

Sejarah Awal Mula Berdirinya Kota Palembang

Kota Palembang adalah salah satu kota (dahulu daerah tingkat II berstatus kotamadya) sekaligus merupakan ibu kota dari Provinsi Sumatra Selatan. Palembang adalah kota terbesar kedua di Sumatra setelah Medan. Kota ini dahulu pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya sebelum kemudian berpindah ke Jambi. Bukit Siguntang, di Palembang Barat, hingga sekarang masih dikeramatkan banyak orang dan dianggap sebagai bekas pusat kesucian di masa lalu.

Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini didasarkan pada prasasti Kedukan Bukit (683 M) yang diketemukan di Bukit Siguntang, sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota yang merupakan ibukota Kerajaan Sriwijaya pada tanggal 16 Juni 683 Masehi (tanggal 5 bulan Ashada tahun 605 syaka). Maka tanggal tersebut dijadikan patokan hari lahir Kota Palembang.
Sejarah Awal Mula Berdiri Kota Palembang
Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.

Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah:

Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu :
  • Pegunungan Bukit Barisan.
  • Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah.
  • Daerah pesisir timur laut.

Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat mementukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara

1256976844.jpgSriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Port-polity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat. (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara.

Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut :Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.

Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama).Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia.

Sumber : http://pandri-16.blogspot.com/2011/10/sejarah-awal-mula-berdiri-kota.html

Jenis alat musik kupang

SEJARAH ALAT MUSIK SASANDO .

518.JPG
Tak banyak yang tahu musik etnis Sasando ternyata disukai sekelompok penikmat musik khas Indonesia di Australia dan Eropa. Tapi, di Indonesia sendiri, dari 200 juta lebih penduduknya, banyak yang belum paham apa itu musik sasando.
Bagi masyarakat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, tempat asal usul musik sasando, musik tersebut sangat dikenal sebagai musik keseharian. Musik itu berbahan Baku daun pohon lontar. Di Pulau Rote, pohon lontar pada saat ini bukan saja dijadikan sumber kehidupan karena menghasilkan tuak, sopi, gula lempeng, gula semut, wadah pembungkus tembakau/rokok, tikar, haik, sandal, topi, atap rumah, dan balok bahan bangunan, melainkan lebih dari itu dianggap punya nilai lebih karena daun pohon lontar makin sering dijadikan resonator musik yang dikenal dengan sebutan sasandu atau sasando.
Asal mula alat musik langka itu, menurut banyak tokoh adat di Pulau Rote, telah dikenali sejak Rote menjadi bagian dari daerah kerajaan. Dalam legenda memang muncul banyak versi mengenai sejarah munculnya sasando. Konon, awalnya adalah ketika seorang pemuda bernama Sangguana terdampar di Pulau Ndana saat pergi melaut. Ia dibawa oleh penduduk menghadap raja di istana. Selama tinggal di istana inilah bakat seni yang dimiliki Sangguana segera diketahui banyak orang hingga sang putri pun terpikat. Ia meminta Sangguana menciptakan alat musik yang belum pernah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu alat musik yang indah bentuk maupun suaranya.
Diilhami mimpi tersebut, Sangguana menciptakan alat musik yang ia beri nama sandu (artinya bergetar). Ketika sedang memainkannya, Sang Putri bertanya lagu apa yang dimainkan, dan Sangguana menjawab, "Sari Sandu". Alat musik itu pun ia berikan kepada Sang Putri yang kemudian menamakannya Depo Hitu yang artinya sekali dipetik tujuh dawai bergetar.
Keindahan bunyi sasando mampu menangkap dan mengekspresikan beraneka macam nuansa dan emosi. Karena itu, dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur, sasando adalah alat musik pengiring tari, penghibur keluarga saat berduka, menambah keceriaan saat bersukacita, serta sebagai hiburan pribadi. Kini musik sasando dikenal sebagai alat musik yang menghasilkan melodi terindah dari Pulau Rote.
519.jpg
Secara umum, bentuk sasando serupa dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi. Tetapi, tanpa chord (kunci), senar sasando harus dipetik dengan dua tangan, seperti harpa. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas, sementara tangan kanan memainkan accord. Ini menjadi keunikan sasando karena seseorang dapat menjadi melodi, bass, dan accord sekaligus.
Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Melingkar dari atas ke bawah tabung adalah ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) direntangkan dan bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Tabung sasando ini diletakkan dalam sebuah wadah setengah melingkar terbuat dari daun pohon gebang (semacam lontar) yang menjadi tempat resonansi sasando. Hingga kini, semua bahan yang dipakai untuk membuat sasando terbuat dari bahan alami, kecuali senar dari kawat halus.
Jenis-jenis sasando dibedakan dari jumlah senarnya, yaitu sasando engkel (dengan 28 dawai), sasando dobel (dengan 56 dawai, atau 84 dawai), sasando gong atau sasando haik, dan sasando biola. Karena itu, bunyi sasando sangat bervariasi. Hampir semua jenis musik bisa dimainkan dengan sasando, seperti musik tradisional, pop, slow rock, bahkan dangdut. Ada kalanya perbedaan pada cara permainan tipe sasando tertentu tergantung gaya permainan di tiap daerah, kemampuan pemain dan tidak adanya sistem notasi musik, khususnya untuk sasando gong.
Terdapat dua jenis ensembel sasando, yaitu yang terdapat di Pulau Rote, di mana sasando dimainkan untuk mengiringi nyanyian dan tabuhan gendang. Sedangkan di Pulau Sabu, dua buah sasando dimainkan bersamaan dengan iringan vokal, tetapi tanpa gendang. Dengan bentuknya dan bahan bakunya yang sederhana itu, tak aneh jika warga Australia dan Portugis setiap berkunjung ke NTT selalu membeli sasando. Musik itu kemudian menjadi musik kebanggaan di negerinya

Sumber : http://info.tnial.mil.id/lantamal7/tabid/367/articleType/ArticleView/articleId/474/SEJARAH-ALAT-MUSIK-SASANDO-.aspx

NUSA TENGGARA TIMUR

TARIAN

Tarian adat yang ada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara
Timur sangat beragam, hal ini disebabkan karena jumlah suku yang mendiami wilayah ini sangat beragam serta ditambah dengan wilayah yang terdiri dari kepulauan.



TARI HOPONG
Asal tarian : Helong

Hopong adalah sebuah upacara tradisional masyarakat Helong yang mengijinkan para petani untuk menuai atau panen di ladang pertanian. Upacara Hopong adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh para petani dalam bentuk doa bersama sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan dan nenek moyang.
Upacara Hopong dilakukan pada masa panen disuatu rumah yang ditentukan bersama dan dihadiri oleh tua-tua adat serta lapisan masyarakat. Tarian ini juga menggambarkan kehidupan bersama nilai religius, gotong royong.
Musik pengiring gendang, tambur, gong



TARI MANEKAT (TEMPAT SIRI)
Asal tarian : Kabupaten TTS

Menurut masyarakat Dawan dalam kehidupan adat istiadatnya sapaan selalu ditandai dengan siri pinang. Siri pinang merupakan lambang penghormatan untuk memberikan harkat dan martabat seseorang.



TARI PEMINANGAN
Asal tarian : Kabupaten TTU

Tarian ini menggambarkan bentuk peminangan ala orang dawan di Kabupaten Timor Tengah Utara. Peminangan dapat juga diartikan sebagai suatu ungkapan perasaan cinta yang tulus.ungkapan kepolosan hati antara sepasang kekasih yang hendak mengikat kasih.Suatu ungkapan bahwa kehadiran dari seseorang diterima dengan sepenuh hati, dengan tangan terbuka.
Tarian ini juga melambangkan penyambutan, penghormatan atas kehadiran seorang tamu istimewa yang mendatangi tempat mereka.



TARI LIKURAI
Asal tarian : Kabupaten Belu

Dalam masyarakat Belu tari Likurai merupakan tari yang dibawakan oleh gadis-gadis / ibu-ibu untuk menyambut tamu-tamu terhormat atau pahlawan yang pulang dari medan perang.



TARI DODAKADO
Asal tarian : Kabupaten Alor

Tarian yang berasal dari permainan rakyat ini Alor ini menggambarkan keceriaan muda-mudi pada saat acara-acara pesta adat. Yang menarik dari tarian ini adalah ketangkasan muda-mudi dalam berlompat-lompat diatas permainan bambu.



TARI TEOTONA
Asal tarian : Kabupaten Rote Ndao

Tarian ini berasal dari kerajaan Oenale di Rote. Tarian ini termasuk tarian sacral dalam menyambut kaum pria yang kembali dari medan perang.
Pria dan wanita bersama-sama menunjukan kegembiraannya dengan menari secara ekspresif.



TARI LEDO HAWU
Asal tarian : Kabupaten Kupang/ Sabu

Tarian ini biasa dibawakan pada saat upacara kematian kepala adat, dengan maksud mengusir setan ditengah jalan, agar perjalanan arwah kehadapan pencipta tidak dihalangi.
Istilah lain dari tari ini dapat dikatakn sebagai penyapu ranjau.



TARI LEKE
Asal tarian : Kabupaten Sikka

Tari ini mengambarkan pesta para masyarakat etnis Sikka Krowe sebagai ungkapan syukur atas keberhasilan.
Biasanya ditarikan pada waktu malam hari yang diiringi musik gong waning dengan lantunan syair-syair adat.



TARI POTO WOLO
Asal tarian : Kabupaten Ende

Fungsi tari ini biasa digunakan untuk menjemput para tamu agung, atau seorang kepala suku yang diangkat secara adat. Poto artinya mengangkat atau menjunjung kebesarannya; Wolo artinya gunung atau bukit.
WASA WOJORANA
Asal tarian : Kabupaten Manggarai

Tarian ini biasanya dilaksanakan pada upacara adat menjelang padi lading menguning.
Wasa Wojarana menggambarkan luapan rasa gembira , dengan meilhat bulir-bulir padi lading yang menjanjikan dan sebagi ungkapan terimakasih kepada pencipta dan sekaligus memohon agar panen tidak gagal akibat bencana alam dan ancaman hama.
Tarian ini ditampilkan ditampilkan dengan irama pelan dan cepat .



TARI TOGADU
Asal tarian : Kabupaten Ngada

Todagu menggambarkan keperkasaan pemuda Nage Keo dalam berperang dan membangkitkan senmangat patriotisme.
Tarian ini diiringi oleh bambu dan tambur.



ARI KANDINGANGU
Asal tarian : Kabupaten Sumba Timur

Pada zaman dahulu Kandingangu ditarikan pada upacara adata tradisional untuk memohon kehadiran pencipta alam semesta (dewa-dewi). Namun masa kini tari ini biasa dipentaskan saat menyambut tamu agung atau dalam acara ramah tamah.



TARI YAPPA IYA
Asal tarian : Kabupaten Sumba Barat
Tari ini menggambarkan kegiatan masyarakat Mbarambanja dalam kegiaatanya menangkap ikan.



TARI HEDUNG BUHU LELU
Asal tarian : Kabupaten Lembata
Suatu kegiatan kekerabatan penghalusan kapas yang telah dipisahkan dari bijinya. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh perempuan, baik itu ibu-ibu maupun gadis-gadis dan aktivitas ini merupakan suatu kerajinan rumah tangga.
ALAT MUSIK
ALAT MUSIK TIUP
FOY DOA

Seberapa lama usia musik Foy Doa tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan- peninggalan yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih.
Sistem penalaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa.
Bentuk syair, umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan , sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan.
Cara Memainkan, Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara.
FOY PAY
Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa.
Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi, fa, sol.

SULING
Umumnya seluruh kabupaten yang ada di NTT memiliki instrumen suling bambu, seperti di Sumba terdapat suling hidung. Namanya demikian karena suling ini ditiup dari hidung.Orkes suling ini terdiri dari suling pembawa melodi (suling keil), dan suling pengiring yang berbentuk silinder yaitu, suling alto, tenor, dan bass. Suling pengiring ini terdiri dari 2 bambu yang berbentuk silinder yaitu, bambu peniup berukuran keil dan bambu pengatur nada berbentuk besar.
Cara memainkan : suling sopran atau pembawa melodi seperti memainkan suling pada umumnya, dan suling pengiring sementar bambu peniup dibunyikan, maka bambu pengatur nada digerakkan turun dan naik, yaitu sesuai dengan nada yang dipilih. Keualui pada sulign bass, bambu peniup yang digerakkan turun dan naik.
Fungsi alat musik suling ini untuk menyambut tamu atau untuk memeriahkan hari-hari nasional.




ALAT MUSIK PETIK

HEO
Alat gesek (heo) terbuat dari kayu dan penggeseknya terbuat dari ekor kuda yang dirangkai menjadi satu ikatan yang diikat pada kayu penggesek yang berbentuk seperti busur (dalam istilah masyarakat Dawan ini terbuat dari usus kuskus yang telah dikeringkan). Alat ini mempunyai 4 dawai, dan masing-masing bernama :
- dawai 1 (paling bawah) Tain Mone, artinya tali laki-laki
- dawai 2 Tain Ana, artinya tali ana
- dawai 3 Tain Feto, artinya tali perempuan
- dawai 4 Tain Enf, artinya tali induk
Tali 1 bernada sol, tali 2 bernada re, tali tiga bernada la dan tali 4 bernada do.
KETADU MARA
Alat musik petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.
SOWITO
Alat musik pukul dari bambu dari Kabupaten Ngada. Seruas bambu yang dicungkil kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat beberapa buah sesuai kebutuhan.
ALAT MUSIK BUNYI-BUNYIAN
THOBO
Alat musik tumbuk dari bambu ini berasal Kabupaten Ngada. Seruas Bambu betung yang buku bagian bawahnya dibiarkan, sedangkan bagian atasnya dilubangi. Ara memainkannya ditumbuk ke lantai atau tanah (seperti menumbuk padi). Alat musik ini berfungsi sebagai bass dalam mengiringi musik Foy doa

Sumber : http://kelvinsudalivenny.blogspot.com/2010/04/kebudayaan-nusa-tenggara-timur.html

Selasa, 12 Maret 2013

Mengenal Budaya Sumatera Utara


Sumatra Utara memiliki khasanah kekayaan budaya yang beraneka ragam. Kebudayaan daerah Sumsel tersebut meliputi adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah.
Di Propinsi Sumatera Utara terdapat beberapa suku yang mendiami propinsi tersebutdiantaranya adalah suku Melayu, suku Nias, suku Batak Toba, suku Pakpak, Karo, Simalungun, Tapanuli Tengah, suku Tapanuli Selatan yang terdiri dari suku Sipirok, suku Angkola, Padang Bolak, serta Mandailing, Namun ada juga pendatang seperti suku Minang, Jawa serta Aceh. Pendatang ini membawa kebudayaan serta adat-istiadatnya masing-masing.
Musik daerah Sumatera Utara

Sama seperti budaya daerah lainnya yang ada di Indonesia Sumatera Utara juga memilki musik yang khas daerah Sumse. Musik yang biasa dimainkan di Sumatra Utara ini tergantung dengan upacara-upacara adat yang diadakan di Sumut. Yang menjadi ciri khas adalah terdapat alunan musik genderang. Seperti misalnya pada Etnis Pesisir yang memiliki serangkaian alat musik yang sebut dengan Sikambang.

Tarian Budaya Sumatera Utara

Memiliki beraneka ragam seni tari tradisional yang terbagi beberapa macam. Ada yang bernuansa magis yang berupa tarian sakral namun ada juga yang sifatnya untuk hiburan saja yang berupa tari profan. Jenis tari adat Sumut merupakan bagian dari upacara adat, sedangkan tari sakralnya biasanya ditarikan oleh dayu-datu.

Beberapa tarian yang berasal dari Sumatera Utara adalah tari Tortor, morah-morah, parakut, sipajok, patam-patam sering dan kebangkiung, tortor nasiaran, tortor tunggal panaluan.
 
Sumber : http://boozemagazine.com/corner/culture/511-mengenal-budaya-sumatera-utara.html

Maluku

KEKAYAAN ADAT - ISTIADAT, SENI DAN BUDAYA MALUKU

Beberapa pihak terus serta telah berusaha melestarikan Adat - Istiadat, Seni dan Budaya Masyarakat Maluku, karena sejak sebelum Republik Indonesia Merdeka sampai jaman Globalisasi saat ini; Masyarakat di seluruh negeri di Provinsi Maluku khususnya masih terdapat acara - acara tradisi yang terus hidup dan diselenggarakan walaupun tidak seperti di daerah - daerah lain yang sudah menjadi acara tradisi berskala nasional dan menjadi internasional. Sebagai contoh di daerah Jawa ada acara yang disebut "GREBEK MAULID" dan atau "GREBEK SYAWAL" sering kali ditayangkan di media Televisi dan media Cetak dan acara lainnya lain, demikian pula ada beberapa Kesenian dan Kebudayaan dari daerah lain yang menjadi Simbol pada setiap pembukaan suatu acara serta ada beberapa Kesenian dan Kebudayaan yang dipromosikan serta diperkenalkan sampai ke luar negeri; berbeda dengan Adat - Istiadat, Kesenian dan Kebudayaan Maluku, banyak masyarakat yang kurang mengenal da atau tidak mengetahuinya.

Sehingga dengan media elektronik ini Lembaga Pelestarian dan Pengembangan Adat Maluku (LEPPA MALUKU), berusaha semaksimal mungkin untuk memperlihatkan, mengenalkan dan mengembangkan Adat - Istiadat, Seni dan Budaya Maluku, dengan tidak membeda - bedakan asal - usul Adat - Istiadat, Kesenian dan Kebudayaan dari negeri yang ada di Provinsi Maluku. Namun maksud dan tujuan Lembaga Pelestarian dan Pengembangan Adat Maluku (LEPPA MALUKU) ini adalah sebagai media informasi, edukasi, komunikasi, promosi yang berkaitan dengan Adat - Istiadat, Kesenian dan Kebudayaan Masyarakat Maluku, sehingga baik masyarakat Maluku sendiri maupun masyarakat khalayak umum dapat mengenal dan mengetahui keberadaan yang ada di Maluku.

Salah satu acara tradisi yang masih dan terus diselenggarakan adalah PUKUL SAPU LIDI, yang dilaksanakan oleh Raja bersama masyaraka Negeri Morella dan Negeri Mamala di Ambon - Maluku, dimana acara tersebut diselenggarakan pada setiap 7 (tujuh) hari seusai Hari Besar Islam "IDUL FITRI", dimana ciri khas acara tersebut yaitu Pukul Sapu Lidi Aren ketubuh antara lawan satu dengan yang lainnya, dengan beberapa syarat tidak boleh mengenai muka dan atau bagian pital lawannya.
Acara tradisi PUKUL SAPU LIDI ini sudah berjalan sejak beberapa ratus tahun lahu di Negeri Morella dan Negeri Mamala, sehingga hampir seluruh masyarakat disekitar Pulau Ambon maupun wisatawan asing yang mengetahui acara tardisi tersebut pasti padat menghadiri dan menyaksikan acara tradisi PUKUL SAPU LIDI tersebut, demikian pula dengan acara tradisi BAMBU GILA yang sangat dikenal oleh masyarakat Maluku maupun masyarakat daerah lain dimana acara tradisi BAMBU GILA sudah diketahui adalah berasal dari Maluku, namun masih banyak masyarakat daerah lain yang tidak mengetahui seperti apa acara yang disebut BAMBU GILA, dan masih banyak lagi acara tradisi masyarakat Maluku yang belum dan tidak diketahui oleh masyarakat Negeri - Negeri lain di Maluku maupun masyarakat dari daerah lain di bumi Nusantara - Indonesia.

Selanjutnya dengan tidak mengurasi rasa hormat LEPPA MALUKU mengharapkan peran serta partisipasi semua pihak dari seluruh Raja - Raja dan Ketua Adat serta masyarakat Maluku kiranya dapat memanfaatkan sarana media LEPPA MALUKU ini, agar dapat bermanfaat bagi orang Maluku maupun bagi generasi penerus guna dapat melestarikan dan mengembangkan Adat - Istiadat, Seni dan Budaya Maluku.

Sumber : http://leppamaluku.blogspot.com/2010/09/kekayaan-adat-istiadat-seni-dan-budaya.html

Jumat, 01 Maret 2013

Reog Ponorogo

Sejarah Reog Ponorogo 300x230 Sejarah Reog Ponorogo

Sejarah Reog Ponorogo

mungkin bagi sebagian orang belum mengetahui atau bahkan belum pernah melihat langsung pertunjukan reog ponorogo. Kebudayaan asli warisan leluhur Indonesia ini berasal dari Kabupaten Ponorogo Jawa Timur.
Reog Ponorogo yang kita kenal identik dengan kekuatan dunia hitam, preman ataupun kekerasan lainnya serta lepas pula dari dunia mistis ketimuran dan kekuatan supranatural. Salah satu pertunjukkan yang ada pada reog yakni mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat 50kg yang digigit sepanjang pertunjukan berlangsung.
Tak hanya itu seni reog ponorogo diiringi oleh beberapa gamelan seperti kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung, angklung dan lain sebagainya. Didalam reog ponorogo juga ada warok tua, sejumlah warok muda, pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah anggota grup reog ponorogo sekitar 20-30an, sedangkan peran utama ada di warok dan pembarongnya.
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah.
Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya.
Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri.
Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
Sejarah Reog Ponorogo 2 300x202 Sejarah Reog Ponorogo
Sejarah Reog Ponorogo
Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kimpoi. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak).
Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru.
Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo dan Sejarah Reog Ponorogo.

Sumber : http://publicnetshare.com/unik/sejarah-reog-ponorogo/